SELAMAT DATANG DI BLOG ILMU PEMERINTAHAN

SELAMAT DATANG., SEMOGA DENGAN ADANYA BLOG INI KITA DAPAT BERBAGI INFORMASI DAN BERTUKAR PIKIRAN DARI BERBAGAI HAL.." Menjadikan Hidup Lebih Bermakna & Bermanfaat untuk Sesama".

Mengenai Saya

Foto saya
Bung Taufik,Adalah Anak pertama dari dua bersauda,yang lahir dan di besarkan dari Keluarga yang Sederhana,di sebuah kampung Kecil di Kabupaten Paser,Saat ini masih tercatat sebagai salah satu Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman,Dan aktif di beberapa Organisasi yang ada di Kaltim.

Rabu, 24 November 2010

LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA


Latar belakang OTDA
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri.
Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan yang cenderung ke arah disentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam  serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Secara substansial, otonomi daerah mirip dengan Negara federasi. Bedanya, federalisme berangkat dari pola bottom-up, artinya daerah-daerah dengan kekuasaannya masing-masing, setuju untuk bergabung dalam satu pemerintahan Negara. Dalam hal ini kedudukan antara pemerintahan pusat dan daerah cenderung sejajar. Sementara otonomi daerah, berangkat dari pola top-down, dimana satu pemerintahan pusat masih lebih tinggi dibanding pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :

1. Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.

2. Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.

3. Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.

4. Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?

SEJAK reformasi Pemerintahan Daerah (Pemda) digulirkan, sekitar tahun 1999, ditandai dengan lahirnya Undang Undang (UU) No 22 tahun 1999 atau yang lebih dikenal dengan UU tentang Otonomi Daerah (Otda). Mulai timbul pertanyaan dan pertentangan, bahwa sebaiknya Otda diterapkan dimana, di tingkat provinsi (Tingkat I) atau di tingkat Kabupaten/Kota (Tingkat II). Pertentangan itu muncul karena berdasarkan pengalaman penerapan desentralisasi di beberapa negara, disamping tidak mudah, kebanyakan penguatannya di tingkat provinsi. Sedangkan design UU No 22 tahun 1999 sangat jelas, Otda diterapkan di tingkat Kabupaten/Kota. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah karena persoalan kebimbangan itu, sehingga penerapan UU No 22 tahun 1999 baru dilaksanakan Januari 2001?
Penerapan konsep otonomi daerah (otda) dewasa ini dinilai salah kaprah dan telah terjebak dalam praktik federalisme atau negara bagian. “Otda yang diterapkan saat ini berbeda jauh dari konsep yang dirancang sejak awal,” kata pengamat politik, Dharma Wisesa, di Medan, belum lama ini.
Wisesa mengaku sangat mengetahui konsep awal otda karena ikut merancangnya bersama Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Otto Soemarwoto dan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Sidharta Utama.
Pada konsep awal, penghasilan yang didapatkan daerah akan dikembalikan pemerintah pusat sebanyak 75 persen untuk pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki, sedangkan 25 persen tetap dikelola pemerintah pusat sebagai biaya penyelenggaraan negara. Hal itu dilakukan sebagai desentralisasi pengelolaan potensi daerah yang dulunya sangat tergantung dengan keputusan pemerintah pusat.
Namun, pada praktiknya desentralisasi sepenuhnya diserahkan ke daerah, sedangkan pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi. “Konsep itu sudah berbeda dengan rencana awal karena sudah seperti sistem pemerintah yang diberlakukan di negara federal,” katanya.
Selain itu, kata Wisesa, konsep otda yang berlaku saat ini juga telah menciptakan sistem birokrasi yang cukup panjang dan membuka peluang untuk melakukan praktik korupsi. Padahal konsep otda dirancang untuk memangkas rentetan birokrasi yang diberlakukan pada masa sebelum konsep itu diberlakukan.
(diambil dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar