SELAMAT DATANG DI BLOG ILMU PEMERINTAHAN

SELAMAT DATANG., SEMOGA DENGAN ADANYA BLOG INI KITA DAPAT BERBAGI INFORMASI DAN BERTUKAR PIKIRAN DARI BERBAGAI HAL.." Menjadikan Hidup Lebih Bermakna & Bermanfaat untuk Sesama".

Mengenai Saya

Foto saya
Bung Taufik,Adalah Anak pertama dari dua bersauda,yang lahir dan di besarkan dari Keluarga yang Sederhana,di sebuah kampung Kecil di Kabupaten Paser,Saat ini masih tercatat sebagai salah satu Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman,Dan aktif di beberapa Organisasi yang ada di Kaltim.

Rabu, 24 November 2010

Metode Penelitian Dalam Persektif Penelitian kualitatif

A. Pengertian
Penelitian kualitatif adalah Suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
B. Tujuan penelitian kualitatif
Tujuannya Untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai factor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
C. Pola penelitian kualitatif

1.      POLA ILLUSTRATIF (THE ILLUSTRATIVE PATTERN)
    1. Pola Ilustratif yang Memakai Perumpamaan
Menggunakan contoh-contoh faktual secukupnya dlm memberikan penjelasan (Explanation) untuk mendukung pernyataan (Thesis).
    1. Pola Ilustratif yang Memakai Komparasi
            Menggunakan bukti-bukti konkrit yg bersifat perbandingan.
    1. Pola Ilustratif yang Kontradiktif
Menggunakan penjelasan dengan beberapa bukti yang konkrit tetapi kontras atau berlawanan.

2.      POLA ANALITIK (THE ANALYTICAL PATTERN)
    1. Pola Analitik yang Mendasarkan pada Klasifikasi
Menggunakan kriteria yang didasarkan pada penggolongan sifat-sifat atau ciri-ciri yg mirip.
    1. Pola Analitik yang Mendasarkan pada Proses
Pola yang menunjukkan suatu konsekuensi atau tindakan yg telah terjadi dan akan terus terjadi.
    1. Pola Analitik yang Menggunakan Analisis Kausalitas
            Menggunakan penjelasan yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat.

3.      POLA  ARGUMENTASI (THE ARGUMENTATIVE PATTERN)
            Analisis yg mendasarkan pd pola2 berpikir menurut hukum2 ilmu logika, sehingga dpt memberikan hasil yg bersifat objektif, logis, sistematis dan metodelogis.

Kondisi Teori Administrasi Negara

Kondisi Teori Administrasi Negara

Melihat kondisi administrasi yang ada di Negara kitaa saat ini sedang melakukan reformasi di berbagai bidang untuk memberikan layanan yang baik terhadap masyarakat.
Dimana pemerintah pusat telah mengintruksikan kepada pemerintah daerah untuk melakukan reformasi birokrasi sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan yang prima terhadap masyrakat. Reformasi telah menjadi suatu kata yang menggelinding dan menjadi semangat gerak langkah anak bangsa untuk membuka katub-katub kekuasaan yang selama ini tidak tersentuh. Ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam usaha bangsa untuk merumuskan kembali seluruh tatanan nilai dan aturan hidup bersama. Mungkin tidak ada lagi hari tanpa tuntutan reformasi yang dilakukan oleh seluruh kalangan, kelompok masyarakat, mahasiswa, pegawai kantor yang menggemakan beragam tuntutan reformasi total disegala bidang.

Reformasi dapat diterjemahkan sebagai perubahan radikal (bidang sosial, politik atau agama) disuatu masyarakat atau negara. Sedangkan reformis adalah orang yang menganjurkan adanya perbaikan (bidang politik, sosial, agama) tanpa kekerasan. Radikal berarti secara menyeluruh, habis-habisan, perubahan yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan, dan sebagainya), maju dalam berfikir dan bertindak. Selain itu, radikalisme adalah faham atau aliran yang radikal dalam politik, faham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis, sikap ekstrim disuatu aliran politik.

Reformasi dapat pula diartikan sebagai suatu tindakan perbaikan dari sesuatu yang dianggap kurang atau tidak baik tanpa melakukan perusakan-perusakan pranata yang sudah ada. Pranata yang dimaksudkan disini adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya dalam berbagai kompleksitas manusia didalam masyarakat.

Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan yaitu reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.

Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan sentral yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi dan dampak yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini untuk bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Akibatnya pemerintah sangat sulit dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah lain seperti ketidakpastian hukum dan keamanan nasional.

Kondisi Administrasi Negara di Indonesia


Kondisi Administrasi Negara di Indonesia

Kondisi administrasi negara Indonesia saat ini, belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik. Hal ini dapat kita nilai dari banyaknya kritik yang dialamatkan pada instansi pemerintah, entah itu mengenai manajemennya, pelayanannya, ataupun organisasinya. Semua kritik dan keluhan yang disampaikan kebanyakan bermuara pada aparatur yang bertugas, mulai dari tingkat atas sampai bawah.

Di tengah era keterbukaan, arus informasi yang beredar dan masuk dalam arena publik, akan begitu cepat mendapat respon dari masyarakat, baik positif atau pun negatif. Respon positif, merupakan ukuran keberhasilan administrasi publik dalam menjalankan kinerjanya, respon negatif melambangkan ketidakberhasilan administrasi publik dalam menjalankan amanat yang diembannya. Respon-respon yang disampaikan oleh publik, dalam sekejap dapat beredar di mana-mana, entah di surat kabar, televisi, radio, atau pun alat komunikasi lain seperti handphone misalnya. Sehingga kesalahan ataupun ketidaknyamanan yang dirasakan rakyat akibat kinerja yang buruk dari intansi pemerintah (administrator negara), dalam sekejap dapat beredar di seluruh Indonesia, bahkan mungkin seantero jagad. Adanya peringkat Indonesia sebagai negara terkorup no.4 di dunia membuktikan hal itu.

Menurut Arie Soelendro, tanda-tanda yang memperlihatkan kurang cakapnya administrator negara dalam menjalankan tugasnya, antara lain:

1. terjadinya tingkat korupsi yang tinggi.

2. merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah.

3. ketiadaan good governance.

4. adanya instansi pemerintah dengan programnya yang tidak beroperasi secara efisien dan efektif.

5. ketertinggalan di bidang ekonomi.

Selanjutnya Arie Soelendro mengatakan, ada dua faktor penting yang terkait dengan kondisi administrasi negara saat ini. Pertama, faktor sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan menyangkut tatanan, elemen-elemen dari sistem administrasi, prosedur atau mekanisme kerja, peralatan, sarana dan prasarana pelayanan publik. Pengembangan sistem administrasi perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini disebabkan begitu pentingnya pembangunan dan pengembangan sistem, baik dari segi kelembagaannya, prosedur, mekanisme koordinasi dan sinkronisasi, yang harus ditujukan pada pembangunan tata kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pembangunan sistem administrasi baik dalam skala mikro maupun makro perlu diarahkan pada terciptanya good governance. Sejalan dengan itu, perbaikan administrasi negara tidak lepas dari perbaikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Semua prasyarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan kepemerintahan yang baik harus diwujudkan. Prasyarat itu antara lain, penciptaan iklim yang memprioritaskan mekanisme pasar yang berkeadilan, kepastian hukum, pemakaian praktek-praktek yang terbaik di bidang administrasi, menyediakan sistem insentif yang sepadan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan sehat, serta membuka partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan public.

Lembaga Pengawasan Independen


Lembaga Pengawasan Independen

            Untuk mengawasi kinerja DPRD yang kini berfungsi sebagai independent yang bertugas memantau kinerja DPRD. Kewenangan yang cukup besar yang dimiliki oleh DPRD ini dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan para anggota DPRD sendiri, sementara kepentingan rakyat tetap saja terabaikan. Tugas dari lembaga ini adalah untuk menekan praktek-praktek politik yang kolusif yang dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Pada saat penyusunan RAPBD dan penyampaian Laporan Pertangungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, adalah saat yang kritis dan perlu mendapat perhatian serius dari segenap lapisan masyarakat agar tidak terjadi persekongkolan politik yang merugikan kepentingan masyarakat.

            Kasus pemberian mobil dinas kepada setiap anggota DPRD telah mendapat dana sebesar Rp 75.000.000,00 sebagai subsidi pembelian kendaraan. (Republika, 9 Maret 2001) dinilai oleh sebagian perbuatan yang dilakukan agar pertanggungjawaban kepala daerah tidak dipermasalahkan oleh DPRD, padahal masih banyak pos-pos untuk kesejahteraan masyarakat yang perlu dibiayai dari APBD. Disini jelas bahwa demi memuluskan penilaian atas LPJ gubernur telah memanjakan DPRD dengan berbagai fasilitas berlebihan.

            Di daerah kasus yang hampir sama juga terjadi di Kab. Purbalingga Jateng dimana utang pribadi anggota Dewan berupa kredit Sepeda Motor senilai Rp. 450.000.000,00 dilunasi dengan anggaran APBD Kabupaten. Hal ini ada kaitannya dengan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Bupati yang disampaikan pada bulan Maret 2001. (Republika, 20 Maret 2001).

            Eforia rupanya juga menghinggapi sikap para DPRD sehingga tidak tertutup kemungkinan para anggota DPRD menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Lembaga pengawasan Independen ini beranggotakan para tokoh masyarakat, kalangan perguruan tinggi dan LSM yang konsen terhadap Clean Government sehingga perlu mengawal ketat pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia, agar otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, tanpa dibarengi dengan meningkatnya KKN di seluruh daerah.

Pengawasan Keuangan di Daerah


Pengawasan Keuangan di Daerah

            Pelaksanaan otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran peran dari Departemen yang berada di Pusat ke Dinas-dinas di daerah. Demikian juga pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dahulu dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan Pemimpin Proyek yang diangkat dan ditunjuk oleh Menteri., kini telah diserahkan kewenangan untuk mengangkat dan menunjuk Pinpro kepada pemerintah daerah. Diserahkannya kewenangan pelaksanaan proyek ke daerah berarti diserahkan pula kewenangan pengelolaan keuangan negara yang cukup besar kepada daerah. Sementara tugas pelaksanaan kegiatan dari Departemen secara berangsur-angsur akan menciut dan tinggal pembinaan dengan pembuatan standar-standar baku.

            Meningkatnya jumlah anggaran yang dikelola di daerah perlu dibarengi dengan peningkatan kemampuan pengawasan keuangan di daerah . Sebab membengkaknya anggaran di pemda bila tidak diikuti dengan pengawasan keuangan yang memadai tidak tertutup kemungkinan akan menyuburkan praktek KKN di daerah. Untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan pengawasan keuangan di daerah diperlukan pendistribusian aparat pengawasan (Itjen dan BPKP) ke daerah tingkat I maupun TK II. Pengawasan keuangan di daerah tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada DPRD sebab DPRD bersifat politis dan tidak semua anggota DPRD memiliki staf ahli yang mampu dan menguasai seluk beluk pelaksanaan keuangan daerah.

PENDAPATAN ASLI DAERAH


P A D

            Pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah telah diwarnai dengan kecenderungan Pemda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan cara membuat Perda yang berisi pembebanan pajak-pajak daerah. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya tinggi (High Cost Economy) sehingga pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak tersebut.

            Kebijakan pemda untuk menaikkan PAD bisa berakibat kontra produktif karena yang terjadi bukan PAD yang meningkat, akan tetapi justru mendorong para pengusaha memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain yang lebih menjanjikan.

            Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengeluarkan Perda tentang pajak daerah, sehingga pelarian modal ke daerah lain dapat dihindari, dan harus berusaha memberikan berbagai kemudahan dan pelayanan untuk menarik investor menanamkan modal di daerahnya.

            Organisasi publik memang berbeda dengan organisasi bisnis karena organisasi publik memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
Organisasi publik tidak sepenuhnya otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor eksternal.
Organisasi publik secara resmi diadakan untuk pelayanan masyarakat.

Organisasi publik tidak dimaksud kan untuk berkembang menjadi besar sehingga merugikan organisasi publik lain
Kesehatan organisasi publik diukur melalui :
Kontribusinya terhadap tujuan politik.
Kemampuan mencapai hasil maksimum dengan sumber daya yang tersedia.

Kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi pengaruh politik yang negatif / merugikan. (Azhar Kasim, 1993 : 20)

            Meskipun organisasi publik memiliki cirri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis akan tetapi paradigma beru Administrasi Publik yang dipelopori oleh Ted Gabler dan David Osborne dengan karyanya "REINVENTING GOVERNMENT" telah memberikan inspirasi bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya organisasi bisnis, efisien, efektif dan menempatkan masyarakat sebagai stake holder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

            Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independent.

Pembentukan Produk Hukum melalui Asas Diskresi


Pembentukan Produk Hukum melalui Asas Diskresi

     Untuk Membentuk suatu peraturan atau Produk Hukum melalui asas Diskresi harus dibentuk dengan cara sebagai berikut:

a. isi pengaturan dalam Keputusan Diskresi merupakan perbuatan hukum dari pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu:
  1. Asas kepastian hukum: Adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.
  2. Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yang wajar terhadap pegawai.
  3. Asas kesamaan
  4. Asas bertindak cermat
  5. Asas motivasi
  6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan
  7. Asas permainan yang layak: Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil
  8. Asas keadilan atau kewajaran
  9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar
  10. Asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal: Jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka pihak yang dirugikan harus diberi ganti rugi dan rehabilitasi.
  11. Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap Pegawai Negeri Sipil diberi kebebasan dan hak untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila
  12. Asas kebijaksanaan: Pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum
  13. Asas pelaksanaan kepentingan umum:

Asas Diskresi


Pengertian Asas Diskresi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri. Banyak pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.

Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
“Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).” 

Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas diskresi tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana. Menurut Prajudi, diskresi adalah Kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri. Kemudian Laica Marzuki mengemukakan bahwa diskresi adalah Kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Lain lagi pendapat dari Thomas J. Aaron yang menyatakan Discretion is power authority conferred by law to action on the basic judgment or consience, and its use is more idea of morals then law. Sedangkan definisi diskresi menurut Sjachran Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah:
”…, tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”. 

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:

1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;

2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;

3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.

Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis). 

Reliabilitas Penelitian


Reliabilitas

Reliabilitas penelitian kualitatif dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan definisi yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti, metode pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial, status dan kedudukan peneliti dihadapan responden, serta hubungan peneliti dengan responden.(IAHS)

             Paradigma Kualitatif
       Paradidma Kuantitatif
Mengajurkan penggunaan metode kualitatif
Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif
Fenomelogisme dan verstehen dikaitkan dengan pemahaman perilaku manusia dari frame of reference aktor itu sendiri
Logika positivisme:”Melihat fakta atau kasual fenomena sosial dengan sedikit melihat bagi pernyataan subyektif individu-individu”
Observasi tidak terkontrol dan naturalistik
Pengukuran terkontrol dan menonjol
Subyektif
Obyektif
Dekat dengan data:merupakan perspektif “insider”
Jauh dari data: data merupakan perspektif “outsider”
Grounded, orientasi diskoveri, eksplorasi, ekspansionis, deskriptif, dan induktif
Tidak grounded, orientasi verifikasi, konfirmatori, reduksionis, inferensial dan deduktif-hipotetik
Orientasi proses
Orientasi hasil
Valid: data “real, “rich, dan “deep”
Reliabel:data dapat direplikasi dan “hard
Tidak dapat digeneralisasi:studi kasus tunggal
Dapat digeneralisasi:studi multi kasus
Holistik
Partikularistik
Asumsi realitas dinamik
Asumsi realitis stabil

Keabsahan Data Penelitian Kualitatif

Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:

1. Kredibilitas
Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.
Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:


a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.


b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.


c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.


d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.


e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

2. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.


3. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, 

membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.

4. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

Metode Pengumpulan Data


Beberapa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu:

1.Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.

2. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
  • Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.
  •  Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.
  • Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respon, stimulus kontrol (kondisi dimana perilaku muncul), dan kualitas perilaku.

3. Dokumen
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.

4.FocusGroup Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kalompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.

Penelitian Kualitatif

Penjelasan secara ringkas keseluruhan unsur yang ada dalam penelitian kualitatif, yaitu:
  1. Judul, singkat dan jelas serta mengisyaratkan fenomena dan fokus kajian penelitian. Penulisan judul sedapat mungkin menghindari berbagai tafsiran yang bermacam-macam dan tidak bias makna.
  2. Abstrak, ditulis sesingkat mungkin tetapi mencakup keseluruhan apa yang tertulis di dalam laporan penelitian. Abstrak penelitian selain sangat berguna untuk membantu pembaca memahami dengancepat hasil penelitian, juga dapat merangsang minat dan selera orang lain untuk membacanya.
  3. Perspektif teoritis dan kajian pustaka, perspektif teori menyajikan tentang teori yang digunakan sebagai perpektif baik dalam membantumerumuskan fokus kajian penelitian maupun dalam melakukan analisis data atau membahas temuan-temuan penelitian. Sementara kajian pustaka menyajikan tentang studi-studi terdahulu dalam konteks fenomena dan masalah yang sama atau serupa.
  4. Metode yang digunakan, menyajikan secara rinci metode yang digunakan dalam proses penelitian.
  5. Temuan–temauan penelitian, menyajikan seluruh temuan penelitian yang diorganisasikan secara rinci dan sistematis sesuai urutan pokok masalah atau fokus kajian penelitian. Temuan-temuan penelitian yang disajikan dalam laporan penelitian merupakan serangkaian fakta yang sudah direduksi secara cermat dan sistematis, dan bukan kesan selintas peneliti apalagi hasil karangan atau manipulasi peneliti itu sendiri.
  6. Analisis temuan– temuan penelitian. Hasil temuanmemrlukan pembahasan lebih lanjut dan penafsiran lebih dalam untuk menemukan makna di balik fakta. Dalam melakukan pembahasan terhadap temuan-temuan penelitian, peneliti harus kembali mencermati secara kritis dan hati-hati terhadap perspektif teoritis yang digunakan.

PELUANG INVESTASI KOTA BONTANG


PELUANG INVESTASI DAN PERDAGANGAN

Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Kota Bontang berupaya proaktif dalam mengelola dan memanfaatkan seluruh kekuatan ekonomi potensi di wilayahnya baik yang berupa potensi SDA, SDM maupun sumber daya lainnya untuk menjadi kekuatan ekonomi riil yang dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat.
Faktor penentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan investasi di seluruh sektor baik yang bersumber dari dalam negeri (PMDN) dan Non PMDN maupun dari luar negeri dalam rangka PMA.

Pemerintah Kota Bontang sangat menyadari bahwa Sumber Daya Laut yang dimiliki Kota Bontang masih belum benar - benar dimaksimalkan pemanfaatannya. Untuk itulah perlu suatu pemikiran dan usaha kreatif untuk mengelolanya. Sehingga kemudian tercetuslah suatu gagasan melalui gerakan yang disebut dengan Gerakan Pengembangan Budidaya Ikan (Gerbang Budi).

Gerbang Budi Kota Bontang merupakan kegiatan ekonomi kerakyatan dan sebagai aksi nyata gerakan "pemberdayaan perekonomian rakyat" yang merupakan salah satu bagian prioritas pembangunan Kota Bontang (Peningkatan Infra Struktur, Peningkatan SDM, Pemberdayaan Perekonomian Rakyat, serta Pengelolaan dan Pelestarian Lingkunan Hidup). Dengan kata lain bahwa gerakan ini diharapkan pula dapat menjadi salah satu solusi untuk penanggulangan masalah kemiskian masyarakat perikanan (nelayan dan pembudidaya) di wilayah pesisir, yang pada umumnya tidak mempunyai modal untuk mengembangkan usaha budidayanya.

Peluang investasi yang lain di Kota Bontang yang masih terbuka luas adalah dalam bidang:

-Industri kimia yang mengolah turunan produk LNG,yaitu industri amonium nitrat,asam nitrat, NPK,
  Acrylonitrit dan lain-lain.
-Perdagangan umum dan pusat perdagangan
-Jasa transportasi darat, laut dan udara
-Industri pariwisata, wisata bawah laut dan wisata hutan bakau
-Industri briket batubara
-Industri perikanan yang meliputi usaha penangkapan ikan tuna,pengolahan hasil perikanan dan cold storage
-Usaha budidaya laut dengan orientasi ekspor
-Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota Baru "BONTANG LESTARI"
-Pembangunan di daerah kelurahan Guntung sentra kebudayaan Di Bontang dengan Dibangunnya Rumah Adat Kutai

Kekayaan alam yang terhampar luas membentang di Kota Bontang adalah sumber potensial kota ini dalam mewujudkan Bontang Sejahtera, Bontang Lestari andaisaja manusianya dapat secara kretif mengolah dan memanfaatkannya. Terkait masalah minimnya permodalan, pemerintah Kota Bontang akan terus berupaya keras untuk memberdayakan perekonomian di daerah termasuk dibidang penanaman modal (investasi).

Investasi merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara/daerah. Dengan melalui kegiatan pengembangan investasi diharapkan kapasitas industri akan bertambah dengan menghasilkan peningkatan nilai tambah yang lebih besar.

Pencanangan Gerakan Pengembangan Budidaya Ikan (Gerbang Budi) oleh Pemerintah Kota Bontang adalah potensi dan peluang investasi yang amatlah ideal untuk dilaksanakan di Kota Bontang mengingat tingkat kesesuaian peairan sangat mendukung untuk pengembangan budidaya keramba, baik dari parameter fisik kawasan maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat.

SEKILAS TANTANG KOTA BONTANG


Kota Bontang adalah sebuah kota di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Kota ini terletak sekitar 120 kilometer dari Kota Samarinda, berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Timur di utara dan barat, Kabupaten Kutai Kartanegara di selatan dan Selat Makassar di timur. Letak geografisnya 0.137° LU dan 117.5° BT.

Di kota ini berdiri tiga perusahaan besar di bidang yang berbeda-beda, Badak NGL (gas alam), Pupuk Kalimantan Timur (pupuk dan amoniak),dan Indominco Mandiri (batubara) serta memiliki kawasan industri petrokimia yang bernama Kaltim Industrial Estate. Kota Bontang sendiri merupakan kota yang berorientasikan di bidang industri, jasa serta perdagangan.

Dalam perjalanan sejarah, Bontang yang sebelumnya hanya merupakan perkampungan yang terletak di daerah aliran sungai, kemudian mengalami perubahan status, sehingga menjadi sebuah kota. Ini merupakan tuntutan dari wilayah yang majemuk dan terus berkembang. Pada awalnya, sebagai kawasan permukiman, Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana. Semula hanya dipimpin oleh seorang yang dituakan, bergelar Petinggi di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Tenggarong. Nama-nama Petinggi Bontang tersebut adalah: Nenek H Tondeng, Muhammad Arsyad yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Kutai sebagai Kapitan, Kideng, dan Haji Amir Baida alias Bedang.

Bontang terus berkembang sehingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampong yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua: hal yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung, sedangkan yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat Jauh sebelum menjadi wilayah Kota Administratif, sejak 1920, Desa Bontang ditetapkan menjadi ibu kota kecamatan yang kala itu disebut Onder Distrik van Bontang, yang diperintah oleh seorang asisten wedana yang bergelar Kiyai. Adapun Kyai yang pernah memerintah di Bontang dan masih lekat dalam ingatan sebagian penduduk adalah: Kiyai Anang Kempeng, Kiyai Hasan, Kiyai Aji Raden, Kiyai Anang Acil, Kiyai Menong, Kiyai Yaman, dan Kiyai Saleh. Sebelum menjadi sebuah kota,status Bontang meningkat menjadi kecamatan , dibawah pimpinan seorang asisten wedana dalam Pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai Kartanegara XIX (1921-1960), setelah ditetapkan Undang Undang No 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tk II di Kalimantan Timur dengan menghapus status Pemerintahan Swapraja.


SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA (RIS DAN UUDS)

 Sistem Pemerintahan Indonesia Pada Saat Konstitusi RIS
         Sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi RIS. Pada periode ini, Indonesia menjadi Negara serikat, sebenarnya bukan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk memakai bentuk Negara serikat ini. Hal itu terjadi karena keadaan yang memaksa demikian. System pemerintahan yang dianut oleh konstitusi RIS adalah system parlementer. Dalam konstitusi RIS dikenal adanya senat. Senat tersebut mewakili negara-negara bagian dan setiap Negara bagian diwakili 2 orang anggota senat. System pemerintahan yang dianut konstitusi RIS ialah sistem Kabinet Parlementer Semu ( Quasi Parlementer) dengan cirri-ciri sebagai berikut.
1)      Perdana menteri diangkat oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.
2)      Kekuasaan perdana menteri masih dikendalikan oleh presiden
3)      Kabinet dibentuk oleh presiden bukan oleh parlemen.
4)      Pertanggung jawaban kabinet pada parlemen.
5)      Parlemen tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya pada kabinet.
6)      Presiden RIS menduduki jabatan rangkap sebagai kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.

 System Pemerintahan Saat Demokrasi Parlementer (UUDS 1950)
         Pada masa itu, digunakan system demokrasi parlementer atau demokrasi liberal secara penuh. Artinya, berlaku bukan hanya dalam praktik tetapi juga diberi landasan konstitusionalnya. Menurut Wilopo, sejak berlakunya UUDS 1950, yakni 17 agustus 1950, system demokrasi parlementer dengan system pemerintahan parlementer berlaku dari tahun 1950-1959. Demokrasi liberal yang berkembang ketika itu ditandai dengan pemerintahan oleh partai-partai politik.
Pendapat lain dikemukakan Nugroho Notosoesanto yang menyatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan, tanpa perubahan UUD, demokrasi liberal sebenarnya sudah dimulai sejak awal kemerdekaan yang didahului Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Sebelum maklumat tersebut, cabinet yang pertama kali kita miliki adalah system pemerintahan presidensial ( 19 Agustus- 14 November 1945) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Setelah itu system pemerintahan parlementer yang dikembangkan. Perdana menteri yang pertama adalah Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia ( 14 November 1945 – 27 Juni 1947). Alasan Sjahrir dengan memberlakukan system parlementer untuk menghilangkan kesan presiden bertindak dictator, tidak demokratis, dan menjadi boneka jepang.
Sjahrir kemudian digulingkan oleh Amir Sjarifuddin, yang juga berhaluan kiri, Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II berusia tidak lama ( 3 Juli1947-29 Januari 1948). Dibawah Amir Sjarifuddin, wilayah RI makin menyempit dan dikelilingi oleh daerah pendudukan Belanda, sebagai akibat Perjanjian Renville. Mohammad Hatta sebagai penggantinya (29 Januari-20 Desember 1949) melakukan pembersihan terhadap sayap kiri ( aliran komunis) karena sayap kiri ternyata telah “ terbeli” oleh Belanda.
Setelah ini tercatat ada 6 kabinet dengan system parlementer. Yang mengawali Natsir dari Masyumi dengan program penyelenggaraan pemilu dan penyelesaian Irian Barat. Dua program ini juga yang mewarnai program kanbinet berikutnya. Dalam periode ini pertama kali terlaksananya pemilu sejak Indonesia merdeka. Itu terjadi pada tahun 1955, saat terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap.
Pemilu pertama 29 September 1955 diikuti oleh 118 kontestan, yang memperebutkan 272 kursi DPR. Warga Negara juga berbondong-bondong untuk memberikan suara dalam pemilu untuk memilih anggota Konstituante ( badan pembentuk UUD) pada 15 Desember 1955. Pemilu tahun 1955 dikenal dalam sejarah di Indonesia sebagai pemilu yang paling demokratis karena kompetisi antara partai berjalan sangat intensif.

LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA


Latar belakang OTDA
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri.
Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan yang cenderung ke arah disentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam  serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Secara substansial, otonomi daerah mirip dengan Negara federasi. Bedanya, federalisme berangkat dari pola bottom-up, artinya daerah-daerah dengan kekuasaannya masing-masing, setuju untuk bergabung dalam satu pemerintahan Negara. Dalam hal ini kedudukan antara pemerintahan pusat dan daerah cenderung sejajar. Sementara otonomi daerah, berangkat dari pola top-down, dimana satu pemerintahan pusat masih lebih tinggi dibanding pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :

1. Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.

2. Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.

3. Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.

4. Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?

SEJAK reformasi Pemerintahan Daerah (Pemda) digulirkan, sekitar tahun 1999, ditandai dengan lahirnya Undang Undang (UU) No 22 tahun 1999 atau yang lebih dikenal dengan UU tentang Otonomi Daerah (Otda). Mulai timbul pertanyaan dan pertentangan, bahwa sebaiknya Otda diterapkan dimana, di tingkat provinsi (Tingkat I) atau di tingkat Kabupaten/Kota (Tingkat II). Pertentangan itu muncul karena berdasarkan pengalaman penerapan desentralisasi di beberapa negara, disamping tidak mudah, kebanyakan penguatannya di tingkat provinsi. Sedangkan design UU No 22 tahun 1999 sangat jelas, Otda diterapkan di tingkat Kabupaten/Kota. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah karena persoalan kebimbangan itu, sehingga penerapan UU No 22 tahun 1999 baru dilaksanakan Januari 2001?
Penerapan konsep otonomi daerah (otda) dewasa ini dinilai salah kaprah dan telah terjebak dalam praktik federalisme atau negara bagian. “Otda yang diterapkan saat ini berbeda jauh dari konsep yang dirancang sejak awal,” kata pengamat politik, Dharma Wisesa, di Medan, belum lama ini.
Wisesa mengaku sangat mengetahui konsep awal otda karena ikut merancangnya bersama Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Otto Soemarwoto dan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Sidharta Utama.
Pada konsep awal, penghasilan yang didapatkan daerah akan dikembalikan pemerintah pusat sebanyak 75 persen untuk pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki, sedangkan 25 persen tetap dikelola pemerintah pusat sebagai biaya penyelenggaraan negara. Hal itu dilakukan sebagai desentralisasi pengelolaan potensi daerah yang dulunya sangat tergantung dengan keputusan pemerintah pusat.
Namun, pada praktiknya desentralisasi sepenuhnya diserahkan ke daerah, sedangkan pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi. “Konsep itu sudah berbeda dengan rencana awal karena sudah seperti sistem pemerintah yang diberlakukan di negara federal,” katanya.
Selain itu, kata Wisesa, konsep otda yang berlaku saat ini juga telah menciptakan sistem birokrasi yang cukup panjang dan membuka peluang untuk melakukan praktik korupsi. Padahal konsep otda dirancang untuk memangkas rentetan birokrasi yang diberlakukan pada masa sebelum konsep itu diberlakukan.
(diambil dari berbagai sumber)

PROSPEK OTONOMI DAERAH KALTIM DI MASA MENDATANG


PROSPEK OTONOMI DAERAH KALTIM DI MASA MENDATANG

Pendahuluan
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
  1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
  2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
  3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
  5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
  6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 32/2004 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 32/2004, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 32/2004 tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 32/2004 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 32/2004 tersebut keliru.
Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia .
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
  • Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
  • Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
  • Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
(diambil dari berbagai Sumber)